Saturday 13 February 2021

review novel gelombang lautan jiwa

Judul novel      : Gelombang Lautan Jiwa
Penulis             : Anta Samsara
Penerbit           : PT Exel Media Komputindo
Tahun terbit     : 2012
Halaman          : 209 Halaman
Sinopsis
“Aku terus kehilangan hal yang bermakna: hidupku, jiwaku, harapanku. Aku tak sanggup lagi menahan derita. Hidup ini terlampau berat untuk dilanjutkan. Dunia dan aku adalah dua kenyataan yang tak pernah saling memahami. Maka akupun memutuskan untuk bunuh diri: aku menelan 27 butir Clozapine 25 miligram; dan juga semua diazepam 2 miligram yang aku punya, mungkin 60 butir, termasuk beberapa butir Risperidone yang masih tersisa. Namun aku sungguh kecewa, karena aku tak mati.”
Anta Samsara mengawali memoarnya dengan sepotong kisah tentang keputusasaan dan kehilangan makna hidup. Selanjutnya sedikit demi sedikit kita diajak olehnya untuk memasuki perjalanan hidupnya. Mulai dari dunia masa kanak-kanak dan remaja yang berkembang seperti anak lain seusianya dengan sedikit catatan tentang kesukaanya terhadap teman imajinasi. Memasuki akhir masa remaja dunia kehidupan Anta Samsara mulai berubah, dunia yang disebut olehnya sebagai kenyataan yang sulit dipahami. Kehidupan yang dikenalnya pelan-pelan mulai berubah menjadi dunia yang asing. Orang-orang yang dikenalnya secara dekat mulai bersikap ganjil, menghina dan memusuhinya. Anta hidup dalam ketakutan, menghindari situasi sosial, bersembunyi di dangau, berkelana mencari hunian yang aman, berpindah dari satu masjid ke lain masjid. Dalam ketakutan Anta merasa sendirian karena kenyataan yang dialaminya tidak dimengerti oleh orang lain, ibunya yang paling dekat dengannya pun tak mampu memahami penderitaannya. Sampai suatu waktu Anta dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa, dan mendapat “label” sebagai pasien gangguan jiwa, berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, berkenalan dengan banyak dokter jiwa, mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang berbeda-beda. Berkenalan dengan banyak pasien gangguan jiwa lain, mengamati dan mempelajari pengalaman hidup mereka, membandingkan dengan pengalaman hidupnya. Anta mencoba mencerna penjelasan dokter tentang berbagai fenomena hidup yang dialaminya.
“Beberapa dokter berbicara mengenai halusinasi. Apakah semua kejadian yang kualami adalah halusinasi? Aku berkata dalam diriku: Tidak! Semuanya tampak begitu nyata! Tak mungkin itu semua hanya halusinasi! Aku menampik segalanya. Akan tetapi aku kembali ke rumah dengan keragu-raguan. Mana yang benar, pendapatku atau pendapat dokter? Apakah pengalaman hidup seseorang dapat dinilai secara ilmiah?”
Label gangguan jiwa juga membuat Anta kehilangan sebagian hak untuk memutuskan dan memilih cara hidup yang ia inginkan. Atas kehendak orangtua dan saudara saudaranya Anta terpaksa menjalani berbagai upaya penyembuhan mistik, dukun, kyai, dan menjalani perawatan di pondok-pondok petirahan.
“...saya memberinya selimut dan bantal agar ia bisa tidur lebih nyaman. Saya memberinya losion antinyamuk ... Saya juga memberinya roti berisi meises dan kue rasa strawberry. Namun apa mau dikata, saat saya tidur, Pak J mengambil paksa selimut dan bantalnya. Esok harinya Pak J menanyakan apakah saya memberikan selimut dan bantal kepadanya. Saya mengiyakan. Ia mengatakan agar jangan memberikan selimut dan bantal lagi. Ia juga berujar, “Semalam juga saya siram, biar basah” ...”.
Anta tidak mampu memahami sikap dan perilaku mereka yang mengaku para penyembuh gangguan jiwa. Tidak bisa mengerti mengapa orang yang sudah menderita masih perlu mendapat siksaan, dan mengapa dia dilarang memberikan bantuan.
Anta juga tidak paham ketika dipetirahan Pak Kyai tidak memberikan penjelasan apa pun tentang kondisi sakitnya dan berapa lama dia harus menjalani pengobatan. Dia tidak boleh meminum obat dari psikiater, yang selama ini membantunya mengatasi halusinasi dan gangguan tidurnya. Setiap hari disuruhnya meminun air kelapa. Tidak ada pengobatan lain selain minum air kelapa dan ia harus mengikuti.
Banyak yang ia tidak pahami tentang tatacara orang memberikan pertolongan terhadap orang-orang yang menderita gangguan jiwa. Bagaimana mungkin para “penolong” itu menetapkan tindakan pertolongannya tanpa mendialogkan pada mereka yang akan “ditolongnya”. Para dokter menetapkan diagnosis dan memberikan pengobatan, para dukun dan Kyai mengenali roh-roh jahat dan mengusirnya, semuanya dilakukan dengan sangat sedikit melibatkan orang-orang yang “ditolongnya”.
Anta juga sedikit mengisahkan perjalanan hidup dari Ayah, Ibu, dan salah seorang kakaknya yaitu Yayan.

No comments:

Post a Comment

Follow Us @riiniekha